BAB I
PENDAHULUAN
A.
PENDAHULUAN
Angka
kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan perubahan
pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada di
dalam makanan. Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di masyarakat
adalah penyakit asma.
Asma
adalah satu diantara beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara
total. Kesembuhan dari satu serangan asma tidak menjamin dalam waktu dekat akan
terbebas dari ancaman serangan berikutnya. Apalagi bila karena pekerjaan dan
lingkungannya serta faktor ekonomi, penderita harus selalu berhadapan dengan
faktor alergen yang menjadi penyebab serangan. Biaya pengobatan simptomatik
pada waktu serangan mungkin bisa diatasi oleh penderita atau keluarganya,
tetapi pengobatan profilaksis yang memerlukan waktu lebih lama, sering menjadi
problem tersendiri.
Dalam
tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit)
asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di Asia seperti
Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma
meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik
di negara berkembang maupun di negara maju.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab
kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini tergambar dari data studi survei
kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5
dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik
dan emfisema.
Maka disini kami akan memaparkan
tentang Asma Bronchial yang nantinya akan dibutuhkan oleh kita selaku askep.
Didalamnya terkandung Definisi Penyakit
Asma Bronchial, Etiologi Penyakit Asma Bronchial, Patofisiologi Penyakit asma bronkial, Gejala Klinis Penyakit Asma
Bronchial, Diagnosis Penyakit Asma Bronchial dan Pencegahan Penyakit Asma
Bronchial.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara pemberian ASKEP pada
anak dengan Asma bronkial?
C.
TUJUAN
1. Mampu mengetahui defenisi dari Asma
bronkial,
2. Mampu mengetahui etiologi Asma
bronkiale,
3. Mampu mengetahui patofisiologi Asma
bronkiale,
4. Mampu memahami manifestasi Asma
bronkiale,
5. Mampu memahami ASKEP pada anak
dengan Asma bronkiale.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
DEFENISI
Asma
adalah suatu kadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya penyempitan bronkus
yang berulang namun reversibel, dan diantara episode penyempitan bronkus
tersebut terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal. Keadaan ini pada
orang-orang yang rentan terkena asma mudah ditimbulkan oleh berbagai rangsangan, yang menandakan suatu keadaan hipere
aktivitas bronkus yang khas.Penyakit asma adalah penyakit yang terjadi
akibat adanya penyempitan saluran pernapasan sementara waktu sehingga sulit
bernapas. Asma terjadi ketika ada kepekaan
yang meningkat terhadap rangsangan dari lingkungan sebagai pemicunya.
Diantaranya adalah dikarenakan gangguan emosi, kelelahan jasmani,perubahan
cuaca, temperatur, debu, asap, bau-bauan yang merangsang, infeksisaluran napas,
faktor makanan dan reaksi alergi.
Asma Bronkial adalah penyakit
pernafasan obstruktif yang ditandai oleh spame akut otot polos bronkiolus. Hal
ini menyebabkan obsktrusi aliran udara dan penurunan ventilasi alveolus.(
Huddak & Gallo, 1997 ).
B.
ETIOLOGI
Ada beberapa hal yang merupakan
faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronkhial.
1. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit
alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit
asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu
hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
a.
Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
·
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan ex: debu,
bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
·
Ingestan, yang masuk melalui mulut ex: makanan dan
obat-obatan
·
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit, ex: perhiasan, logam dan jam tangan
b.
Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi
asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan
dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini
berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c.
Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang
mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadiny
d.
Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang
bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi
lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
e.
Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut. Karena jika stressnya belum diatasi
maka gejala asmanya belum bisa di obati.
C. PATOFISIOLOGI
Asma
ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan
sukar bernapas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus
terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi
diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah
besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen
spesifikasinya.
Pada
asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada
interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat,
alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin,
zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor
kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua factor-faktor
ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun
sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos
bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat.
Pada
asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama
inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan
bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka
sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan
obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat
melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan
ekspirasi.
Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu
fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma
akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa
menyebabkan barrel chest. (Tanjung, 2003)
D.
KLASIFIKASI
Berdasarkan
Keparahan Penyakitnya :
a. Asma intermiten
Gejala muncul < 1 kali
dalam 1 minggu, eksaserbasi ringan dalam beberapa jam atau hari, gejala asma
malam hari terjadi < 2 kali dalam 1 bulan, fungsi paru normal dan
asimtomatik di antara waktu serangan, Peak Expiratory Folw (PEF) dan Forced
Expiratory Value in 1 second (PEV1) > 80%
b. Asma ringan
Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1 hari,
eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi
> 2 kali dalam 1 bulan, PEF dan PEV1 > 80%
c. Asma sedang (moderate)
Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala
asma malam hari terjadi >1 kali dalam 1 minggu, menggunakan inhalasi beta 2
agonis kerja cepat dalam keseharian, PEF dan PEV1 >60% dan < 80%
d. Asma parah (severe)
Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi, gejala asma malam
hari sering terjadi, aktifitas fisik terganggu oleh gejala asma, PEF dan PEV1
< 60%
Derajat
|
Gejala
|
Gejala malam
|
Faal paru
|
Intermiten
|
Gejala kurang dari 1x/minggu
Asimtomatik
|
Kurang dari 2 kali dalam sebulan
|
APE > 80%
|
Mild persistan
|
-Gejala lebih dari 1x/minggu tapi kurang dari 1x/hari
-Serangan dapat menganggu aktivitas dan tidur
|
Lebih dari 2 kali dalam sebulan
|
APE >80%
|
Moderate persistan
|
-Setiap hari,
-Serangan 2 kali/seminggu, bisa berahari-hari.
-Menggunakan obat setiap hari
-Aktivitas & tidur terganggu
|
Lebih 1 kali dalam seminggu
|
APE 60-80%
|
Severe persistan
|
- Gejala Kontinyu
-Aktivitas terbatas
-Sering serangan
|
Sering
|
APE <60%
|
E.
GEJALA KLINIS
Keluhan
utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase inspirasi yang
lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi
(wheezing), batuk yang disertai serangn napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa
penderita asma, keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak
napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau
tiba-tiba menjadi lebih berat.
Wheezing
terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing tergantung cepat
atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi
ringan atau kelelahan otot pernapasan, wheezing akan terdengar lebih lemah atau
tidak terdengar sama sekali. Batuk hamper selalu ada, bahkan seringkali diikuti
dengan dahak putih berbuih. Selain itu, makin kental dahak, maka keluhan sesak
akan semakin berat.
Dalam
keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk membungkuk
dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Posisi ini didapati juga pada pasien
dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Tanda lain yang menyertai
sesak napas adalah pernapasan cuping hidung yang sesuai dengan irama
pernapasan. Frekuensi pernapasan terlihat meningkat (takipneu), otot Bantu pernapasan
ikut aktif, dan penderita tampak gelisah. Pada fase permulaan, sesak napas akan
diikuti dengan penurunan PaO2 dan PaCO2, tetapi pH normal atau sedikit naik
Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan
memperberat sesak napas, karena menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta
meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu, terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut
nadi sampai 110-130/menit, karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam
darah akibat respons hipoksemia.
1.
Stadium dini
a.
Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek
b.
Rochi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya
hilang timbul
c.
Whezing belum ada
d.
d.Belum ada kelainan bentuk thorak
e.
Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
f.
BGA belum patologis
Faktor spasme
bronchiolus dan edema yang lebih dominan
a. Timbul sesak napas dengan atau tanpa
sputum
b. Whezing
c. Ronchi basah bila terdapat
hipersekresi
d. Penurunan tekanan parsial O2
2.
Stadium lanjut/kronik
a. Batuk, ronchi
b. Sesak nafas berat dan dada seolah
–olah tertekan
c. Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan
d. Suara nafas melemah bahkan tak
terdengar (silent Chest)
e. Thorak seperti barel chest
f. Tampak tarikan otot
sternokleidomastoideus
g. Sianosis
(Halim Danukusumo, 2000, hal
218-229)
F.
KOMPLIKASI
Status asmatikus adalah keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan yang men
gancam jiwa yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan. Pada kasus seperti
ini, kerja pernapasan sangat meningkat. Apabila kerja pernapasan sangat
meningkat, kebutuhan oksigen juga meningkat,karena individu yang mengalami asma
tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen normalnya, individu semakin tidak
sanggup memenuhi kebutuhan oksigen yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk
berinspirasi dan berekspirasi melawan spasme bronkiolus, pembengkakan
bronkiolus, dan mukus yang kental. Situasi ini dapat menyebabkan pneumotoraks
akibat besarnya tekanan untuk melakukan ventilasi. Apabila individu kelelahan,
dapat terjadi asidosis respiratorik, gagal napas, dan kematian.
G. PENATALAKSANAN KLINIS
1.Pengobatan non farmakologik:
·
Memberikan penyuluhan.
·
Menghindari faktor pencetus.
·
Pemberian cairan.
·
Fisiotherapy.
·
Beri O2 bila perlu.
2.
Pengobatan farmakologik :
·
Bronkodilator : obat yang
melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan :
1. Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin).
1. Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin).
Nama obat :
Orsiprenalin (Alupent)
Fenoterol (berotec)
Terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan simpatomimetik
tersedia dalam bentuk tablet, sirup,suntikan dan semprotan. Yang berupa
semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang
dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator
(Alupent, Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah
menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya
dihirup.
2.
Santin (teofilin)
Nama obat :
Aminofilin (Amicam supp)
Aminofilin (Euphilin Retard)
·
Teofilin (Amilex)
Efek dari teofilin sama dengan
obat golongan simpatomimetik, tetapi cara
kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya
saling memperkuat. Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering).
kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya
saling memperkuat. Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering).
·
Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anak-anak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anak-anak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.
·
Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah
dapat diberika secara oral.
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah
dapat diberika secara oral.
H.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan
untuk melihat adanya:
·
Kristal-kristal charcot leyden
yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
·
Spiral curshmann, yakni yang
merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
bronkus.
·
Creole yang merupakan fragmen
dari epitel bronkus.
·
Netrofil dan eosinopil yang
terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan
kadang terdapat mucus plug.
2.Pemeriksaan darah.
·
Analisa gas darah pada umumnya
normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
·
Kadang pada darah terdapat
peningkatan dari SGOT dan LDH.
·
Hiponatremia dan kadar leukosit
kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
·
Pada pemeriksaan faktor-faktor
alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu
bebas dari serangan.
3.
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada
umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
·
Bila disertai dengan bronkitis,
maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
·
Bila terdapat komplikasi empisema
(COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
·
Bila terdapat komplikasi, maka
terdapat gambaran infiltrate pada paru.
·
Dapat pula menimbulkan gambaran
atelektasis lokal.
·
Bila terjadi pneumonia
mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk
gambaran radiolusen pada paru-paru.
4.
Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk
mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
5.
Elektrokardiografi
Gambaran
elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian,
dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya
terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation.
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot
jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya
sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
6.
Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi
udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
7.
Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling
cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.Peningkatan
FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma. Tidak
adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri
tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai
berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi
pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
BAB III
ASUHAN KEBIDANAN
1.
Pengkajian
·
Riwayat kesehatan masa lalu
Kaji riwayat
pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya
Kaji riwayat
reaksi alergi atau sensitivitas terhadap zat/faktor lingkungan.
·
Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan dan
insomnia
Tanda : letargi dan penurunan toleransi terhadap aktivitas
·
Pernapasan
Gejala :
Riwayat adanya/ISK kronis,PPOM,merokok sigaret.
Takipnea, dispnea progesif, pernafasan dangkal,
penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal.
Tanda :
Sputum: merah muda, berkarat, atau purulen.
Perkusi :
pekak diatas area konsolidasi.
Fremitus :taktil dan vocal bertahap meningkat dengan
konsolidasi. Gesekan friksi pleural.
Bunyi nafas : menurun atau tak ada di atas area yang terlibat, atau
napas bronchial.
Warna :
pucat atau sianosis bibir/kuku.
·
Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya/GJK kronis.
Tanda : Takikardia.
Penampilan kemerahan atau pucat.
·
Integritas
ego
Gejala :
Banyaknya stressor, masalah finansial
·
Makanan/Cairan
Gejala :
Kehilangan nafsu makan, mual/muntah.
Tanda :
Distensi abdomen.
Hiperaktif
bunyi usus.
Kulit kering
dengan turgor buruk.
·
Neurosensori
Gejala :
Sakit kepala daerah frontal.
Tanda : Perubahan
mental (bingung, somnolen)
·
Nyeri/Kenyamanan
Gejala :
Sakit kepala, nyeri dada (pleuritik),mialgia, artralgia.
Tanda :
Melindungi area yang sakit.
·
Keamanan
Gejala :
Demam ( mis. 38.5-39,6oC)
Tanda :
Berkeringat, menggigil berulang, gemetar.
·
Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala :Riwayat mengalami pembedahan; penggunaan alcohol kronis. DRG
menunjukan rerata lama dirawat : 6,8 hari.
2.
Diagnosa
o Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya sputum
o Nyeri
akut berhubungan dengan intensitas batuk yang tinggi
o Ketidakefektifan
polaa nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
3.
Intervensi
Intervensi
No.
|
Diagnosa
|
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
adanya sputum
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapakan:
ü
Jalan nafas kembali efektif.
ü
pasien dapat mengeluarkan
sputum,
ü
wheezing berkurang/hilang,
ü
Sesak nafas berkurang, dan
ü
Batuk berkurang/hilang.
|
Airway Management
ü
Auskultasi bunyi nafas,
ü
Kaji/pantau frekuensi
pernafasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi,
ü
Observasi karakteristik batuk,
menetap, batuk pendek, basah,
ü
Kaji hasil TTV,
ü
Kaji riwayat kesehatan klien
dan keluarga,
ü
Observasi sputum (warna,
konsistensi, bau),
ü
Posisikan klien semifowler,
ü
Beri minum air hangat,
ü
Beri makanan yang lembut dan
hangat,
ü
Ajarkan tekhnik batuk efektif,
ü
Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat dan terapi nebulizer, dan
ü
Kolaborasi dengan ahli gizi
dalam pemberian nutrisi.
|
ü
Klien
mau mengikuti saran dari perawat,
ü
Klien
bersedia melakukan terapi yang dianjurkan perawat,
ü
Klien
tampak masih sesak nafas,
ü
Klien
bersedia meminum obat, dan
ü
Klien
bersedia menghirup asap dari nebulizer.
|
2.
|
Nyeri akut berhubungan dengan intensitas batuk yang tinggi
|
Pian
Level 2102
Setelah dilakukan tindakan selama 2x24 jam,
diharapkan nyeri yang dirasakan pasien berkurang/hilang dengan kriteria hasil
sbb:
ü nyeri berkurang.
ü Ekspresi
wajah pasien tampak membaik.
Pain
control :1605
ü Faktor penyebab nyeri hilang.
|
Pain
management
ü Observasi penyebab, kualitas, ratio, skala dan
waktu terjadinya nyeri.
ü kaji riwayat keluarga pasien
ü Observasi TTV
ü kompres dengan menggunakan air hangat
ü Pijat dengan lembut area
nyeri,
ü ajarkan teknik nafas dalam untuk mengurangi nyeri
ü kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
obat
|
ü
Klien
mengatakan nyeri sedikit berkurang,
ü
Klien
bersedia meminum obat,
ü
Klien
mampu melakukan teknik nafas dalam secara mandiri.
|
3.
|
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
penurunan ekspansi paru
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam.
Diharapakan:
ü
Pola nafas kembali efektif.
ü
ekspansi paru mengembang.
ü
bunyi napas normal bersih,
ü
batuk berkurang/hilang,
ü
TTV dalam batas normal.
|
ü
Kaji frekuensi kedalaman
pernafasan dan ekpansi paru,
ü
Auskultasi bunyi nafas dan
catat adanya bunyi nafas seperti krekels, wheezing,
ü
Kaji riwayat kesehatan klien
dan keluarga,
ü
Beri minum air hangat,
ü
Ajarkan teknik nafas dalam,
ü
Tinggikan kepala dan bantu
mengubah posisi.
ü
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
obat.
|
ü
Klien
kooperatif dengan perawat,
ü
Klien
mengatakan sesak berkurang,
ü
Klien
Bersedia meminum obat,
ü
Klien
mampu melakukan teknik nafas dalam.
|
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Asma
adalah suatu kadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya penyempitan bronkus
yang berulang namun reversibel, dan diantara episode penyempitan bronkus
tersebut terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal. Diantara dignosa yang
muncul pada pasien asma bronkialis ini adalah ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya sputum, nyeri akut berhubungan
dengan intensitas batuk yang tinggi, dan ketidakefektifan polaa nafas
berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar